DETIK: INKONSISTENSI DEMOKRASI: FENOMENA KOTAK KOSONG MENUJU PEMILU 2024

 INKONSISTENSI DEMOKRASI: FENOMENA KOTAK KOSONG MENUJU PEMILU 2024



Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dengan sistem politik yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin mereka melalui pemilu secara langsung. Demokrasi di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan sejak era reformasi 1998, ketika sistem pemerintahan otoriter digantikan dengan sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Namun, seiring berjalannya waktu, kualitas demokrasi Indonesia mengalami tantangan, salah satunya adalah munculnya fenomena "kotak kosong" dalam Pilkada khususnya menjelang Pilkada 2024, menunjukkan adanya dinamika demokrasi yang kompleks di Indonesia. Fenomena ini menjadi indikator menurunnya kompetisi dalam sistem demokrasi ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam Pilkada, sementara kotak kosong digunakan sebagai alternatif pilihan bagi pemilih.
Fenomena kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015, ketika terjadi kebuntuan politik karena hanya satu calon yang diusung partai politik, yang kemudian diresmikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar pemilih tetap memiliki pilihan alternatif dalam bentuk kotak kosong. Seiring waktu, fenomena kotak kosong terus meningkat, dari hanya tiga daerah pada Pilkada 2015, menjadi sembilan daerah pada 2017, 16 daerah pada 2018, dan 25 daerah pada Pilkada 2020. Pada Pilkada 2024, jumlah ini meningkat drastis, dengan 41 calon tunggal yang dihadapi oleh kotak kosong, meningkat 60% dari Pilkada sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan masalah serius dalam mekanisme demokrasi di mana pemilih sering kali tidak memiliki pilihan kandidat yang beragam, karena banyak partai politik mengakumulasi dukungan pada satu calon, meminimalisir kompetisi.
Fenomena ini dianggap sebagai gejala penurunan demokrasi, karena pemilih tidak mendapatkan pilihan yang memadai untuk menentukan pemimpin mereka, yang menjadi salah satu prinsip dasar demokrasi. Kehadiran kotak kosong sering kali disebabkan oleh partai politik yang cenderung "memborong" dukungan partai lain untuk mengamankan kemenangan calon tunggal. Hal ini meminimalisir kemungkinan munculnya calon alternatif dan mempersempit ruang kompetisi. Salah satu contoh paling terkenal dari kemenangan kotak kosong adalah pada Pilkada Makassar 2018, di mana kotak kosong mengalahkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi. Kemenangan ini dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap proses politik yang tidak memberikan banyak pilihan kepada masyarakat, menandai bahwa publik tidak puas dengan pilihan tunggal yang tersedia.
Menurut para ahli, seperti Direktur Perludem Khoirunnisa Agustyati dan Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, tren ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Mereka menyatakan bahwa keberadaan kotak kosong menggambarkan defisit kompetisi politik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi. Kurangnya kompetisi membuka peluang bagi elite politik untuk mengontrol proses pemilihan, yang berpotensi menciptakan iklim oligarki di mana pilihan pemimpin hanya terbatas pada lingkaran kekuasaan tertentu.
Minimnya kompetisi politik dan terbatasnya pilihan bagi pemilih menunjukkan dominasi kekuatan politik tertentu. Situasi ini dapat menyebabkan partisipasi masyarakat melemah, karena mereka merasa tidak memiliki alternatif yang layak untuk dipilih. Ketika pemilih merasa tidak ada pilihan yang sesuai dengan harapan mereka, ini menandakan adanya masalah dalam representasi politik. Hal ini mengindikasikan bahwa partai politik tidak berhasil dalam menjaring calon yang sesuai dengan aspirasi rakyat, sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Pemilihan yang hanya melibatkan satu calon dapat berujung pada ritual politik semata, tanpa memberikan kesempatan nyata bagi rakyat untuk mempengaruhi hasil secara signifikan. Ini berpotensi menjadikan sistem demokrasi terjebak dalam oligarki, di mana kekuasaan terpusat pada segelintir orang atau kelompok. Kotak kosong dalam Pilkada dianggap sebagai tanda penurunan demokrasi karena mengurangi kompetisi yang sehat. Hal ini juga berdampak pada partisipasi politik yang seimbang, di mana masyarakat merasa apatis dan tidak tertarik untuk terlibat dalam proses pemilihan.
Pentingnya Perbaikan Sistem Pencalonan untuk mencegah munculnya fenomena kotak kosong dalam Pilkada, diperlukan perbaikan pada sistem pencalonan. Hal ini mencakup reformasi regulasi yang mengatur pencalonan agar lebih inklusif dan memberikan kesempatan bagi lebih banyak calon untuk berpartisipasi. Masyarakat perlu dilibatkan lebih aktif dalam proses pemilihan. Penguatan peran publik dan pemilih sangat penting untuk memastikan bahwa aspirasi masyarakat terwakili. Dengan demikian, diharapkan akan muncul lebih banyak kandidat yang berkualitas dan beragam. Transparansi dalam proses pencalonan dan pengawasan terhadap dominasi politik juga menjadi kunci untuk mencegah kotak kosong. Regulasi yang jelas mengenai koalisi partai dan pencalonan harus diterapkan agar tidak ada monopoli dalam pemilihan. Langkah pertama yang bisa diambil adalah memperkuat aturan terkait dominasi koalisi partai. Dengan membatasi kemampuan partai untuk membentuk koalisi besar, diharapkan akan ada lebih banyak calon alternatif yang muncul.
Memberikan insentif bagi partai politik untuk mencalonkan kandidat alternatif juga penting. Ini dapat mendorong pluralitas politik dan memastikan bahwa pemilih memiliki lebih banyak pilihan. Penting untuk meningkatkan kualitas calon yang diusung oleh partai politik. Hal ini bisa dicapai melalui proses seleksi yang lebih ketat dan melibatkan masyarakat dalam pemilihan calon. Edukasi politik kepada masyarakat juga sangat penting agar mereka memahami proses pemilihan dan pentingnya partisipasi mereka. Dengan pengetahuan yang lebih baik, masyarakat akan lebih termotivasi untuk terlibat dalam pemilu. Biaya kampanye yang tinggi sering menjadi penghalang bagi calon potensial. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meminimalisir biaya kampanye, sehingga lebih banyak orang dapat berpartisipasi tanpa terbebani oleh biaya yang terlalu tinggi.
Sanksi untuk Partai Politik, yaitu mengubah peraturan sehingga setiap daerah harus memiliki minimal dua bakal calon yang dicalonkan oleh dua partai dapat membantu mencegah kotak kosong. Jika tidak terpenuhi, sanksi harus dikenakan pada partai politik di daerah tersebut. Fenomena kotak kosong dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan di Indonesia. Ketika masyarakat merasa tidak diberikan pilihan yang adil dan kompetitif, mereka mungkin menjadi apatis atau skeptis terhadap proses demokrasi itu sendiri. Ini bisa mengarah pada penurunan partisipasi pemilih dan meningkatkan ketidakpuasan terhadap elite politik yang dianggap tidak mendengarkan aspirasi masyarakat. Ketika masyarakat melihat bahwa kotak kosong mendapatkan suara yang signifikan, ini bisa menimbulkan keraguan terhadap legitimasi pemilihan dan sistem politik secara keseluruhan. Kepercayaan publik yang menurun dapat berdampak pada partisipasi pemilih di masa depan, sehingga penting untuk menangani isu ini dengan serius.
Pemilih di Pilkada dan Pemilu di Indonesia tidak hanya terdiri dari masyarakat berpendidikan tinggi, tetapi juga masyarakat awam. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam kecenderungan memilih, di mana masyarakat dapat menjadi kritis dengan pertanyaan mengapa penting kotak kosong disandingkan dengan pilihan bakal calon. Masyarakat Indonesia terkenal dengan aksi demonya, terlebih di era media sosial saat ini kabar simpang siur mudah berkembang dan bisa meningkatkan asumsi-asumsi negatif tentang keadaan sistem pemilihan di Indonesia yang tidak lagi seperti dulu. Semakin sedikitnya pilihan dan pesta demokrasi yang seperti sunyi dapat mempengaruhi kepercayaan publik. Masyarakat yang terpaksa dan kecewa serta tidak tahu memilih apa kemungkinan tidak memilih (golput). Bahkan memiliki indikasi mengkritik persaingan politik yang dapat dianggap tidak sehat, karena tidak menunjukkan musyawarah namun lebih seperti penunjukkan langsung seseorang untuk menduduki jabatan di daerah. Untuk menjaga kepercayaan publik, penting untuk memperbaiki mekanisme politik yang lebih inklusif dan kompetitif. Upaya dari partai politik untuk meningkatkan kualitas kaderisasi, serta menciptakan iklim politik yang lebih inklusif dan kompetitif juga diperlukan. Hal ini penting agar masyarakat merasa memiliki pilihan yang nyata dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 mencerminkan krisis kompetisi dan pilihan bagi pemilih di Indonesia. Munculnya kotak kosong, di mana hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat, mengindikasikan dominasi partai politik besar dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Meski putusan Mahkamah Konstitusi memberikan peluang bagi partai untuk mencalonkan diri tanpa berkoalisi, banyak partai yang tetap memilih untuk tidak mengajukan kandidat. Kondisi ini berpotensi merusak kualitas demokrasi, mengurangi pengawasan terhadap calon, dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Untuk mengatasi fenomena ini, perlu adanya reformasi sistem pencalonan, pengaturan jadwal pemilu yang lebih baik, serta peningkatan transparansi dan partisipasi publik. Sanksi bagi partai yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan juga dapat menjadi langkah penting untuk memastikan adanya lebih dari satu calon di setiap daerah.
Secara keseluruhan, fenomena kotak kosong menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem politik dan pemilihan di Indonesia agar dapat menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Tantangan demokrasi ini membutuhkan solusi yang lebih komprehensif untuk memastikan adanya kompetisi yang sehat dalam pemilihan, seperti keputusan MK terkait penghapusan atau penurunan ambang batas pencalonan dalam Pilkada, serta reformasi dalam sistem dukungan calon perseorangan sedikit banyak membantu mengurangi fenomena ini, namun masih dibutuhkan reformasi yang lebih mendalam untuk mengembalikan semangat demokrasi dan kompetisi sehat dalam politik lokal di Indonesia
Daftar Pustaka

Kurnia Syah, D. (2024). “Memilih Kotak Kosong dalam Pilkada dengan Calon Tunggal itu Sah”. Diakses dari https://tirto.id/memilih-kotak-kosong-dalam-pilkada-dengan-calon-tunggal-itu-sah-g2my

Dani, Rizal. (2024). “Pilkada 2024, Fenomena Kotak Kosong: Kuatnya Oligarki atau Lemahnya Fungsi Parpol”. Diakses dari https://timesindonesia.co.id/kopi-times/509922/pilkada-2024-fenomena-kotak-kosong-kuatnya-oligarki-atau-lemahnya-fungsi-parpol

Alfath, A. (2024). “Jika Kotak Kosong Menang, Pilkada Akan Diulang?”. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/jika-kotak-kosong-menang-pilkada-akan-diulang--lt5fa3d3b3f2139/

Nur, Sholihin. (2024). “Kotak Kosong dan Bahaya Demokrasi”. Diakses dari  https://timesindonesia.co.id/kopi-times/503220/kotak-kosong-dan-bahaya-demokrasi

Feisal, Rio. (2024). “Peneliti TII: Kotak kosong di Pilkada bentuk inkonsistensi demokrasi”. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4318943/peneliti-tii-kotak-kosong-di-pilkada-bentuk-inkonsistensi-demokrasi

Komentar