PERMASALAHAN RELOKASI PASAR SUBUH SAMARINDA
Muhammad
Farrell Pambudi, Nandani Mindy
Sebagai salah satu pasar tertua di Kota Samarinda,
Kalimantan Timur, keberadaan Pasar Subuh yang berada di Jalan Yos Sudarso bukan
merupakan hal asing lagi bagi masyarakat Kota Tepian. Pasar yang sudah ada
sejak tahun 80-an ini terkenal sebagai pasar tradisional yang nyentrik. Karena
menjual berbagai jenis daging hewan yang halal maupun non halal. Tapi bukan
hanya itu, pasar yang berada tepat di depan Pelabuhan Samarinda ini juga
menjual berbagai jenis kuliner daerah. Seperti buras khas Kota Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, ikan asa, nasi kuning dan banyak lagi.
Kebijakan relokasi Pasar Subuh di
Samarinda menjadi polemik yang mencerminkan persoalan tata kelola pemerintahan
daerah, terutama dalam konteks pengambilan keputusan publik yang menyangkut
hajat hidup banyak orang. Wacana relokasi Pasar Subuh sudah muncul sejak
Oktober 2023 sehingga memicu ketegangan antara pedagang dan Pemkot Samarinda.
Rencana relokasi yang telah mencuat sejak Oktober 2023 itu memicu ketegangan
antara pedagang dan Pemkot Samarinda (Ulwan, 2025). Pihak pemkot
mengakui bahwa Disperindag Samarinda sudah beberapa kali mencoba mengadakan
pertemuan dengan para pedagang untuk membahas pemindahan pasar ke lokasi baru
yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Pasar Subuh. Meskipun Pemerintah Kota
(Pemkot) Samarinda menyatakan bahwa proses relokasi telah melalui mekanisme dan
aturan yang berlaku, fakta di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara
kebijakan yang dirancang dan implementasi yang diterima oleh para pedagang.
Sejak relokasi pertama kali dilontarkan, mayoritas pedagang telah menyuarakan
penolakan secara terbuka. Mereka menilai bahwa proses sosialisasi tidak
berjalan secara konstruktif dan partisipatif. Pertemuan-pertemuan yang
dilakukan bersama Dinas Perdagangan (Disperindag) Samarinda tidak membuahkan
hasil yang jelas, bahkan dinilai hanya bersifat kunjungan biasa tanpa adanya
tindak lanjut sosialisasi yang substantif. Dialog yang terjadi pun bersifat
satu arah dan tidak menghasilkan kesepakatan bersama. (Ulwan, 2025)
Fakta ini mengindikasikan lemahnya
komunikasi publik yang dilakukan oleh Pemkot Samarinda. Para pedagang menilai
bahwa pemerintah tidak memiliki legitimasi administratif untuk memindahkan
mereka karena status petak yang mereka tempati adalah sewa resmi dari pemilik
lahan (keluarga Ngo), lengkap dengan pembayaran sewa, pungutan resmi, serta
identitas usaha yang diterbitkan oleh kelurahan. Dengan demikian, upaya
relokasi dianggap sebagai tindakan sepihak yang tidak menghormati hak-hak
ekonomi warga. Penolakan terhadap relokasi semakin menguat setelah Disperindag
mengirimkan surat undangan untuk pengundian petak di lokasi baru (Pasar Beluluq
Lingau) pada 23 April 2025. Sebelum surat tersebut dikirim, Disperindag
terlebih dahulu melakukan pendataan terhadap pedagang aktif dan memasang banner
berisi pengumuman kewajiban pindah yang efektif berlaku mulai 4 Mei 2025.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk pemaksaan yang mengabaikan proses
persetujuan bersama dan melahirkan rasa ketidakadilan di kalangan pedagang. (Nindi, 2025)
Dalam pernyataan oleh perwakilan pedagang
Fathi, menilai bahwa kebijakan relokasi ini tidak Relokasi Pasar Subuh
Samarinda dianggap belum mencerminkan prinsip good governance karena
proses pengambilan keputusannya tidak melibatkan partisipasi aktif para
pemangku kepentingan, terutama pedagang yang terdampak secara langsung. Dalam
ilmu administrasi publik, good governance menuntut adanya transparansi,
akuntabilitas, partisipasi masyarakat, kepastian hukum, dan keadilan sebagai
fondasi utama dalam setiap kebijakan pemerintah. Namun, dalam kasus ini,
sosialisasi yang dilakukan cenderung sepihak, kurang dialog, dan tidak
menghasilkan kesepakatan bersama, sehingga partisipasi yang bermakna menjadi
tidak terlihat.(Hermina, 2025) Selain itu,
pelaksanaan relokasi dilakukan tanpa kejelasan administrasi dan legalitas yang
memadai, apalagi status lahan pasar merupakan milik pribadi yang secara sah
disewa oleh para pedagang. Kurangnya keterbukaan mengenai alasan relokasi,
tidak adanya jaminan keberlanjutan usaha di tempat baru, serta dugaan adanya
tekanan terhadap pemilik lahan, semakin memperlihatkan lemahnya akuntabilitas
pemerintah daerah. Dari sudut pandang administrator publik, hal ini menunjukkan
adanya penyimpangan dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, di mana
keputusan lebih menonjolkan pendekatan koersif daripada proses deliberatif yang
seharusnya menjadi ciri khas pemerintahan demokratis yang mengutamakan
kepentingan masyarakat (Ulwan, 2025). Menyoroti bahwa
tidak ada pendekatan komunikatif dan humanis yang mengedepankan nilai-nilai hak
asasi manusia (HAM) dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, Fathi
menegaskan bahwa tidak ada kejelasan dari pihak pemerintah mengenai alasan
relokasi maupun jaminan keberlangsungan usaha para pedagang di lokasi baru,
yang menurutnya memiliki potensi rendah untuk menarik pembeli. Situasi semakin
kompleks ketika muncul dugaan intimidasi terhadap keluarga Ngo selaku pemilik
lahan.
Disperindag Samarinda mengundang pihak
keluarga Ngo pada awal Mei 2025, dimana hal ini dianggap sebagai sebuah bentuk
tekanan agar aktivitas pasar dihentikan. Padahal, sebelumnya keluarga Ngo telah
menyatakan bahwa mereka tidak keberatan terhadap kelanjutan aktivitas
perdagangan di lahan milik mereka. Fathi menambahkan bahwa tarif sewa yang
diberlakukan sejak awal 2025 telah dilengkapi dengan dokumen administratif yang
sah. Namun, pada akhirnya, keluarga Ngo memutuskan untuk tidak memperpanjang
kontrak sewa dan hal itu menjadi sebuah keputusan yang diduga berkaitan dengan
tekanan dari pemerintah yang membebankan kewajiban pajak dalam jumlah besar
atas aktivitas pasar tersebut, mencapai angka miliaran rupiah. (Nur Ajijah, 2025)
Merespons tekanan yang datang dari
pemerintah, para pedagang melayangkan surat keberatan tertanggal 2 Mei 2025
kepada sejumlah institusi, termasuk Wali Kota Samarinda, DPRD Kota dan
Provinsi, Gubernur Kalimantan Timur, serta Ombudsman. Selain itu, mereka juga
mengajukan permohonan audiensi kepada Wali Kota Samarinda sebagai bagian dari
tindak lanjut atas aksi demonstrasi di Balai Kota. Di sisi lain, Wakil Wali
Kota Samarinda, Saefuddin Zuhri, menegaskan bahwa proses relokasi telah
mempertimbangkan berbagai aspek dan tetap berada dalam koridor hukum. Ia juga
menyatakan bahwa komunikasi dengan para pedagang terus dilakukan agar proses
relokasi dapat segera terlaksana. Permasalahan ini menyoroti pentingnya
pendekatan partisipatif dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik,
terutama yang berdampak langsung terhadap penghidupan masyarakat (Hermina, 2025a). Proses relokasi
pasar tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis administratif, tetapi juga
menyangkut dimensi sosial, ekonomi, dan psikologis warga yang menjadi subjek
kebijakan tersebut. Dengan demikian, kebijakan yang efektif seharusnya mampu
mengintegrasikan prinsip keadilan sosial, keterbukaan informasi, dan
penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat. (Nindi, 2025)
Pemindahan Pasar Subuh di Samarinda yang
berada di Jalan Yos Sudarso, telah memicu berbagai diskusi dan kekhawatiran,
termasuk soal kompensasi bagi para pedagang. Pemerintah Kota Samarinda telah
menyalurkan bantuan transportasi senilai Rp500.000 per pedagang untuk membantu
biaya perpindahan, serta menyelenggarakan bazar sebanyak dua kali guna
mendukung kegiatan jual beli mereka (Rosiana, 2025). Meski demikian,
sebagian pedagang merasa relokasi ini akan berdampak negatif bagi mereka dan
masyarakat sekitar. Pemerintah Kota Samarinda (Pemkot) berencana memindahkan 56
pedagang dari Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso. Rencana ini menuai kekhawatiran
dari para pedagang dan warga sekitar, yang khawatir relokasi tersebut akan
merugikan mereka karena dapat menurunkan akses dan peluang penjualan.
Dikarenakan lokasi pasar yang dinilai kurang strategis, jauh dari pusat keramaian dan potensi penurunan
jumlah pengunjung, para pedagang merasa hal ini berdampak langsung pada
pendapatan mereka. (Rosiana, 2025)
Selain itu pertimbangan terkait relokasi
pasar subuh Samarinda membuat, para pedagang merasa kurang terlibat dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Samarinda. Menurut warga sekitar,
penggusuran melibatkan unsur kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan saat
pelaksanaan reloksi, aksi tersebut diwarnai dengan pemukulan, pemintingan,
hingga penyeretan terhadap warga sipil dan 8 pedagang yang menentang
perencanaan relokasi, para pedagang yang menolak keras relokasi ini merasa
tindakan relokasi tersebut mendadak, tidak partisipatif, dan tanpa solusi yang
nyata. Relokasi ini bukan hanya sebagai pemindahan fisik aktivitas ekonomi
tetapi juga sebagai upaya transformasi yang memperhatikan keberlanjutan ekonomi
lokal. Tanpa adanya komunikasi yang efektif, relokasi pasar berpotensi
menimbulkan konflik, menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. (NKH, 2025)
Dari sudut pandang mahasiswa administrasi publik, kebijakan relokasi Pasar Subuh Samarinda menunjukkan bahwa pemerintah kota belum berhasil menerapkan prinsip-prinsip good governance secara menyeluruh. Dikarenakan proses relokasi yang berlangsung tanpa melibatkan pedagang secara menyeluruh, komunikasi yang terjadi juga bersifat sepihak, kurang transparan, serta tidak memberikan kepastian hukum terkait status lahan maupun perlindungan terhadap usaha para pedagang. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintah dalam menjunjung keadilan, partisipasi masyarakat,dan hak-hak warga. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa kebijakan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat umum.
Sebagai saran, pemerintah kota sebaiknya membangun mekanisme kebijakan yang melibatkan partisipasi publik, transparansi, dan akuntabilitas sebelum mengambil keputusan strategis seperti relokasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara terbuka dengan mendengarkan aspirasi pedagang sebagai pihak yang terdampak langsung. Pemerintah juga harus menjamin perlindungan bagi pelaku usaha kecil melalui pendekatan yang humanis, menghormati hak ekonomi dan sosial warga, serta memastikan kebijakan yang diambil didasarkan pada data, regulasi yang jelas, dan pertimbangan terhadap keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat.
Hermina, K. (2025a, May 4). Tak
Sesuai Kenyataan, Pedagang Pasar Subuh Sangkal Pernyataan Pemkot Samarinda.
https://linikaltim.id/tak-sesuai-kenyataan-pedagang-pasar-subuh-sangkal-pernyataan-pemkot-samarinda/
Hermina, K. (2025b, May 16). DPRD
Samarinda Gelar RDP Bahas Relokasi Pasar Subuh, Cari Solusi Berkeadilan bagi
Pedagang. https://linikaltim.id/dprd-samarinda-gelar-rdp-bahas-relokasi-pasar-subuh-cari-solusi-berkeadilan-bagi-pedagang/
Nindi, T. (2025a, May 3). Jelang
Penertiban Pasar Subuh Samarinda, Warga Teken Petisi Tolak Relokasi.
https://kaltimtoday.co/jelang-penertiban-pasar-subuh-samarinda-warga-teken-petisi-tolak-relokasi
Nindi, T. (2025b, May 6). Penjelasan
Andi Harun Relokasi Pedagang Pasar Subuh: Permintaan Pemilik Lahan, Tidak
Sesuai Tata Kota.
https://kaltimtoday.co/penjelasan-andi-harun-relokasi-pedagang-pasar-subuh-permintaan-pemilik-lahan-tidak-sesuai-tata-kota
NKH. (2025, May 7). Soroti Polemik
Relokasi Pasar Subuh, DPRD Samarinda Minta Hak Pedagang Tak Dikesampingkan.
https://kaltimtoday.co/soroti-polemik-relokasi-pasar-subuh-dprd-samarinda-minta-hak-pedagang-tak-dikesampingkan
Nur Ajijah, I. (2025, May 9). Jerit
Pedagang Pasar Subuh Samarinda, “Kami Ini Orang Kecil.”
https://www.narasi.co/jerit-pedagang-pasar-subuh-samarinda-kami-ini-orang-kecil/
Rosiana. (2025, May 10). Pemkot
Samarinda Klaim Relokasi Pasar Subuh Sudah Disiapkan Sejak 2022.
https://www.infosatu.co/pemkot-samarinda-klaim-relokasi-pasar-subuh-sudah-disiapkan-sejak-2022/#:~:text=“Semua
kami penuhi%2C termasuk listrik,membina warga di wilayah tersebut.
Ulwan, M. (2025, May 6). Relokasi
Pedagang Pasar Subuh Samarinda Dinilai Cacat Prosedur.
https://www.beritaalternatif.com/relokasi-pedagang-pasar-subuh-samarinda-dinilai-cacat-prosedur/
Komentar
Posting Komentar