REAL: PERMASALAHAN DI RAJA AMPAT: KONSEKUENSI KEBERADAAN IZIN TAMBANG PADA KAWASAN EKOLOGI RAJA AMPAT

PERMASALAHAN DI RAJA AMPAT: KONSEKUENSI KEBERADAAN IZIN TAMBANG PADA KAWASAN EKOLOGI RAJA AMPAT 


Belfons Yudhistira Harefa, Nurpadillah Ramadani

Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau yang indah, namun sebuah monumen kehidupan, warisan dunia yang diakui sebagai jantung keanekaragaman hayati laut. Dengan statusnya sebagai Geopark Dunia UNESCO yang artinya dikelola dengan standar internasional, kawasan ini menjadi rumah bagi lebih dari 75% spesies terumbu karang dunia, sebuah laboratorium alam yang vital bagi ilmu pengetahuan dan masa depan ekologi global  (Greenpeace Indonesia, 2024). Ini menandakan bahwa sepertiga kehidupan terumbu karang di dunia ada di Raja Ampat. Selama bertahun-tahun, keajaiban ini telah menopang sebuah model ekonomi yang harmonis, di mana pariwisata berbasis konservasi menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat adat yang telah menjadi “penjaganya” selama berabad-abad (Aditya, 2024). Namun, di bawah permukaan surga ini, terbentang suatu hal yang mengancam. Cadangan nikel yang melimpah menempatkan Raja Ampat dalam bidikan industri ekstraktif, yang didorong oleh kebijakan hilirisasi nasional yang agresif. Akibatnya, kawasan ini dipaksa berhadapan dengan sebuah pilihan yang akan menentukan nasibnya, apakah  melanjutkan jalan sebagai mercusuar pembangunan berkelanjutan (dalam pariwisata, aset Geopark), atau membukanya untuk eksploitasi industri yang menjanjikan keuntungan jangka pendek namun dengan biaya kerusakan permanen. Memprioritaskan kehadiran tambang di Raja Ampat merupakan sebuah kesalahan strategis yang fatal, sebuah keputusan yang didasarkan pada kalkulasi ekonomi yang sempit, pengabaian terhadap kerangka hukum, dan pengorbanan hak-hak masyarakat adat yang tak ternilai.

Situasi ini mencerminkan paradoks pembangunan di Indonesia, di mana kawasan dengan nilai konservasi tinggi justru menjadi sasaran eksploitasi, atas nama pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan hilirisasi tambang yang tidak disertai dengan rencana keberlanjutan dan perlindungan sosial membuka ruang bagi konflik ekologis. Raja Ampat kini menghadapi ancaman transisi identitas ruang, dari kawasan konservasi global menjadi lanskap industri. Padahal, keberlanjutan jangka panjang yang ditawarkan oleh pariwisata berbasis telah terbukti secara data memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat lokal, tanpa merusak ekosistem yang menopangnya. Di sisi lain, industri pertambangan pasti tidak hanya menyisakan jejak kerusakan lingkungan yang hampir mustahil dipulihkan, tetapi juga menciptakan kerusakan struktur sosial masyarakat adat yang selama ini menjadi benteng pertahanan ekologis kawasan. Oleh karena itu, keputusan untuk membuka ruang tambang di Raja Ampat bukan sekadar isu teknis administratif, melainkan bentuk krisis paradigma sosial yang gagal memosisikan lingkungan dan masyarakat adat, sebagai subjek utama dalam perencanaan wilayah. Perlu diingat, apa yang dipertaruhkan di Raja Ampat bukan hanya sumber daya lokal, tetapi kredibilitas Indonesia dalam komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan di mata dunia.

Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa kerusakan ekologis di ekosistem kepulauan kecil seperti Raja Ampat bersifat permanen dan tidak dapat dibatalkan (Aditya, 2024). Pada prosesnya, penambangan nikel diawali dengan pembukaan lahan skala besar yang melenyapkan hutan. Ketika hutan yang berfungsi sebagai pelindung jadi hilang, hujan akan dengan mudah mengikis lapisan tanah atas, melepaskan jutaan ton sedimen lumpur merah ke sungai dan akhirnya ke laut (Greenpeace Indonesia, 2024). Lumpur ini akan menutupi terumbu karang, lapisan lumpur yang menyelimuti karang, menghalangi sinar matahari yang krusial bagi kehidupan terumbu karang. Tanpa cahaya, karang akan memutih (bleaching) dan mati (Greenpeace Indonesia, 2024). Kematian terumbu karang akan memicu efek domino yang menghancurkan, hilangnya habitat bagi ribuan spesies ikan. Janji reklamasi yang kerap didengungkan oleh perusahaan tambang tidak akan pernah bisa mengembalikan ekosistem yang telah musnah. Menanam beberapa jenis pohon di lahan bekas tambang pun tidak sama dengan menghidupkan kembali hutan dengan segala kompleksitas jaring-jaring kehidupannya (Tempo.co, 2023). Demikian pula, tidak ada teknologi yang mampu membangkitkan terumbu karang yang telah mati terkubur lumpur. Memilih tambang berarti secara sadar melanggar prinsip keadilan antar-generasi, di mana generasi saat ini merampas hak generasi masa depan untuk menikmati dan hidup dari warisan alam yang tak tergantikan (Aditya, 2024).

Dalih ekonomi yang digunakan untuk membenarkan tambang di Raja Ampat adalah sebuah kalkulasi yang sangat keliru. Memang benar sektor pertambangan dapat menyumbang angka signifikan pada pendapatan domestik negara (Tempo.co, 2023), namun angka tersebut menyembunyikan sebuah kebenaran yang pahit. Keuntungan tersebut bersifat sementara, dan secara aktif menghancurkan fondasi ekonomi lokal yang sudah ada dan berkelanjutan. Ekonomi tambang bersifat ekstraktif dan terbatas. Ketika cadangan nikel terkuras dan perusahaan pergi, yang ada hanya meninggalkan kerusakan, lingkungan yang tercemar, dan masyarakat yang telah kehilangan mata pencaharian tradisional mereka di sektor pariwisata dan perikanan. Sebaliknya, pariwisata di Raja Ampat sekarang adalah model "ekonomi biru" (pemanfaatan SDA laut) yang telah terbukti berhasil. Sifatnya berbasis komunitas, di mana keuntungan mengalir langsung ke masyarakat lokal melalui usaha homestay, jasa pemandu selam, transportasi perahu, warung makan, dan lain-lain (Aditya, 2024). Ekonomi ini bersifat jangka panjang dan nilainya akan terus meningkat selama keindahan alamnya terjaga. Mengizinkan tambang sama saja dengan membuat keputusan membunuh pariwisata dan perikanan, yang telah menjadi tumpuan hidup ribuan keluarga masyarakat adat.

Kemudian, kehadiran tambang di Raja Ampat juga merupakan cerminan dari kegagalan tata kelola terhadap hukum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang aktivitas penambangan mineral yang merusak di pulau-pulau kecil dengan ekosistem yang rentan (Pemerintah Republik Indonesia, 2014). Pulau-pulau yang menjadi target tambang di Raja Ampat jelas masuk dalam kategori ini. Semangat dari undang-undang ini adalah untuk melindungi aset ekologis seperti Raja Ampat. Namun, adanya izin pertambangan di Raja Ampat menciptakan celah hukum. Akibatnya, semangat perlindungan dalam undang-undang tersebut dilemahkan, memperlihatkan inkonsistensi pemerintah menjadi sangat mencolok, di satu sisi pemerintah mencabut izin beberapa perusahaan swasta karena tekanan publik, namun di sisi lain membela mati-matian operasi PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha BUMN.

Dampak paling tragis dari pemaksaan industri tambang ini adalah luka sosial yang ditimbulkannya. Bagi masyarakat adat Raja Ampat, tanah dan laut bukanlah sekadar komoditas, melainkan ruang hidup yang sakral, bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan spiritualitas mereka. Di beberapa media, terdapat laporan mengenai proses sosialisasi yang manipulatif dan intimidatif, di mana masyarakat tidak diberikan “informasi yang utuh” mengenai dampak jangka panjang (Mambor, 2023). Akibatnya, terjadi polarisasi sosial. Komunitas terpecah menjadi faksi pro dan kontra tambang, menciptakan ketegangan antarwarga dan antarkeluarga. Ikatan sosial yang tadinya kuat menjadi rapuh. Memaksakan sebuah proyek yang merampas ruang hidup dan menghancurkan tatanan sosial masyarakat adat atas nama pembangunan nasional adalah bentuk ketidakadilan yang paling nyata, dan sudah pasti akan melahirkan konflik yang berkepanjangan dan sulit disembuhkan.

Persoalan izin tambang di Raja Ampat bukan sekadar polemik kebijakan ekonomi, melainkan ujian serius bagi komitmen Indonesia terhadap perlindungan lingkungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat. Bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa kerusakan ekologis di kawasan kepulauan kecil bersifat permanen dan tak dapat dikembalikan seperti semula. Sementara itu, dalih pertumbuhan ekonomi yang dijadikan justifikasi terbukti tidak sebanding dengan risiko kehancuran ekosistem, hilangnya sumber penghidupan jangka panjang, dan keretakan sosial yang ditimbulkan. Mengizinkan aktivitas pertambangan di Raja Ampat berarti secara sadar memilih jalan yang mengorbankan warisan alam paling berharga demi keuntungan sementara. Pilihan ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan antar-generasi, tetapi juga merusak reputasi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang mengusung pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Raja Ampat harus tetap dijaga sebagai kawasan konservasi global yang menjadi simbol keberhasilan harmoni antara manusia dan alam. Upaya kolektif semua pemangku kepentingan untuk menolak eksploitasi dan memperkuat tata kelola perlindungan menjadi langkah mutlak demi memastikan bahwa generasi mendatang masih memiliki kesempatan menikmati keajaiban ekologi yang tak tergantikan ini.

Referensi:

Aditya, N. (2024, 15 Januari). Polemik tambang di Raja Ampat, antara ekonomi dan kelestarian surga terakhir. Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/sains/read/2024/01/15/polemik-tambang-di-raja-ampat

Greenpeace Indonesia. (2024). Melindungi surga terakhir: Investigasi ancaman tambang nikel di Raja Ampat. Diakses dari https://www.greenpeace.org/indonesia/laporan/59334/melindungi-surga-terakhir-investigasi-ancaman-tambang-nikel-di-raja-ampat/

Mambor, V. (2023, 22 Mei). PT Gag Nikel masih menambang, Institut Usba: Ini pengkhianatan konstitusi. Jubi.id. Diakses dari https://jubi.id/tanah-papua/2023/pt-gag-nikel-masih-menambang-institut-usba-ini-pengkhianatan-konstitusi/

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2023). Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diakses dari https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_35_PUU-XXI_2023.pdf

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara.

Saputra, E. (2023, 10 Oktober). Masyarakat adat Kawe tutup sementara wisata Wayag sebagai protes tambang. Republika.co.id. Diakses dari https://visual.republika.co.id/berita/s2c6ja483/masyarakat-adat-papua-tutup-wisata-pulau-wayag-di-raja-ampat

Tempo.co. (2023, 19 Juni). Jejak konsesi tambang di Raja Ampat, surga yang terancam. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/169033/jejak-konsesi-tambang-di-raja-ampat-surga-yang-terancam


Komentar