PENDIDIKAN GRATIS DI KALIMANTAN TIMUR: ANTARA JANJI POLITIK DAN REALITA SISTEM REFUND
Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mencoba mewujudkan hak tersebut melalui program pendidikan gratis yang menjadi bagian dari janji politik Gubernur Kalimantan Timur pada masa kampanye. Kebijakan ini dirancang untuk menjamin akses pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan polemik ketika pemerintah memilih skema refund sebagai metode pelaksanaannya. Mahasiswa diharuskan membayar terlebih dahulu biaya kuliah, lalu mengajukan pengembalian dana kepada pemerintah. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah pendidikan tersebut benar-benar gratis atau sekadar ilusi administratif yang membebani mahasiswa.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menjelaskan skema refund dan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam program pendidikan gratis (Gratispol). Dari media Swarakaltim.com, Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setdaprov Kaltim, Dasmiah menyampaikan bahwa Terkait skema refund untuk UKT, sudah kami serahkan kepada perguruan tinggi. Mekanismenya setelah Pemprov membayarkan ke perguruan tinggi, dana akan langsung diteruskan kepada orangtua mahasiswa," tuturnya. Adapun rincian mahasiswa baru tahap awal yang ditanggung sebanyak 16.823 orang, di antaranya Universitas Mulawarman 7.714 orang, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda 2.225 orang, Polnes 2.122 orang, Poltekes 997 orang, Politani Politani 465 orang, Poltekba 1.020 orang dan Institut Teknologi Kalimantan (ITK) 2.280 orang. "Tahun ini kita fokuskan dulu ke mahasiswa baru. Tahun depan nanti kepada mahasiswa semester lanjutan di perguruan tinggi," tuturnya.
Namun, sistem refund yang diberlakukan menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mahasiswa dari keluarga miskin. Mereka harus mencari pinjaman atau berutang untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di awal semester, lalu menunggu proses penggantian dana dari pemerintah daerah. Prosedur pengajuan refund ini tidak sederhana. Mahasiswa harus melengkapi dokumen administrasi, bukti pembayaran, dan mengikuti proses verifikasi yang sering kali memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Proses ini kerap diwarnai hambatan teknis, seperti input data yang salah, dokumen yang dianggap tidak lengkap, hingga keterlambatan dalam pencairan dana. Akibatnya, banyak mahasiswa mengalami tekanan finansial maupun psikologis, karena ketidakpastian dalam proses refund yang seharusnya membantu, bukan malah menambah beban.
Program pendidikan gratis ini juga menunjukkan kesenjangan koordinasi antara pemerintah daerah dan perguruan tinggi. Tidak semua kampus di Kalimantan Timur memiliki sistem yang terintegrasi dengan skema refund pemerintah. Akibatnya, proses verifikasi menjadi tidak merata. Beberapa kampus cepat memproses data mahasiswa, sementara kampus lain mengalami keterlambatan karena kurangnya infrastruktur pendukung atau minimnya komunikasi antarlembaga. Mahasiswa pun sering kali kebingungan karena tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai status pengajuan refund mereka. Kurangnya transparansi ini memperbesar rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah.
Pelaksanaan kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih besar, yaitu pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Di tengah proyek pembangunan nasional yang begitu masif, generasi muda lokal seharusnya diberdayakan agar dapat mengambil peran dalam transformasi daerahnya. Pendidikan menjadi kunci untuk mewujudkan hal tersebut. Jika program pendidikan gratis justru menyulitkan mahasiswa dari keluarga tidak mampu, maka tujuan pembangunan yang inklusif akan sulit tercapai. Maka, penting untuk menempatkan kebijakan pendidikan sebagai pilar utama dalam menyiapkan sumber daya manusia unggul di era IKN, bukan sekadar formalitas politik.
Kajian empiris dari berbagai program subsidi pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa efektivitas bantuan pendidikan sangat bergantung pada desain kebijakan dan mekanisme distribusinya. Sebuah studi oleh Amelia dan Pranata (2025) menemukan bahwa program beasiswa yang langsung disalurkan ke rekening perguruan tinggi memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan program berbasis refund. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Putra et al. (2024) terhadap program LPDP menyoroti pentingnya transparansi, kepastian waktu pencairan, dan edukasi kepada penerima sebagai faktor penentu keberhasilan. Sementara itu, Asnawi dan Sunandar (2024) menekankan bahwa program bantuan pendidikan yang baik harus mempertimbangkan kapasitas administratif kampus dan kesiapan teknologi informasi sebagai bagian dari sistem pendukung.
Melalui temuan-temuan tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu mempertimbangkan revisi mekanisme program GratisPol. Salah satu solusi yang layak dipertimbangkan adalah mengalihkan sistem refund menjadi sistem subsidi langsung ke perguruan tinggi. Model ini telah diterapkan di beberapa provinsi lain dan terbukti lebih efisien serta minim hambatan administratif. Jika pun refund tetap dijalankan, maka harus ada perbaikan menyeluruh dalam sistem pelaksanaannya. Pemerintah perlu menetapkan batas waktu maksimal pencairan dana, menyederhanakan proses administrasi, serta menyediakan kanal informasi dan pendampingan bagi mahasiswa.
Pendidikan bukan sekadar persoalan membebaskan biaya, melainkan juga tentang menciptakan akses yang adil, sistem yang transparan, dan pelayanan yang responsif. Mahasiswa dari keluarga miskin tidak boleh terus-menerus dibebani oleh birokrasi yang rumit hanya untuk mendapatkan hak mereka atas pendidikan. Pemerintah harus memahami bahwa keberhasilan program pendidikan gratis tidak cukup diukur dari banyaknya mahasiswa yang menerima refund, tetapi dari seberapa cepat, mudah, dan tepat sasaran proses itu berjalan.
Sebagai penutup, program pendidikan gratis di Kalimantan Timur adalah langkah awal yang baik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia lokal, khususnya dalam menghadapi tantangan pembangunan IKN. Namun, jika tidak disertai dengan implementasi yang berpihak pada mahasiswa, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai. Pemerintah daerah harus segera mengevaluasi sistem refund yang digunakan, dan bergerak menuju model subsidi yang lebih efektif dan adil. Hanya dengan demikian, pendidikan benar-benar bisa menjadi alat transformasi sosial dan pembangunan daerah yang inklusif.
Referensi
Amelia, T., & Pranata, H. (2025). Evaluation of Education Subsidy Programs in Indonesia: A Literature Study. Journal of Education and Learning, 19(1), 33–45. https://www.jele.or.id/index.php/jele/article/view/1029
Asnawi, M., Wiyono, S., & Sunandar, D. (2024). Policy Evaluation of Program Indonesia Pintar (PIP) in Indonesia’s Education Outcomes. Jurnal Pendidikan dan Kebijakan, 11(2), 65–78.
Putra, A. P., Lestari, N., & Handayani, R. (2024). Evaluation of the Scholarship Program by the Education Fund Management Institute in Indonesia. Indonesian Journal of Policy Studies, 9(1), 21–39. https://www.researchgate.net/publication/384252559
Sonora.id. (2025, Juni). Dasmiah: Program GratisPol wujudkan pembiayaan kuliah yang adil dan transparan. https://www.sonora.id/read/424270364/dasmiah-program-gratispol-wujudkan-pembiayaan-kuliah-yang-adil-dan-transparan
Suara.com. (2025, 23 Juni). Pemprov Kaltim tegaskan komitmen pendidikan gratis: UKT mahasiswa Unmul direfund penuh. https://kaltim.suara.com/read/2025/06/23/190917/pemprov-kaltim-tegaskan-komitmen-pendidikan-gratis-ukt-mahasiswa-unmul-direfund-penuh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. (2025). Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor 24 Tahun 2025 tentang Bantuan Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa pada Perguruan Tinggi. https://jdih.kaltimprov.go.id/produk_hukum/detail/cf4ecf50-4fed
Komentar
Posting Komentar